Retribusi Dan Pajak Daerah

                         (sumber: forumpajak.org)

 

  1. UMUM

Kebijakan pungutan pajak daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Ketentuan tersebut sudah menjadi “roh” dalam kebijakan pungutan daerah dibidang pajak dan retribusi daerah, yang diatur dalam perundang-undangan pajak dan retribusi daerah, bahwa salah satu kriteria objek pajak daerah adalah bukan merupakan objek pajak pusat. Ataupun juga pengaturan bahwa jenis pajak atau jenis retribusi yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah adalah yang terdapat dalam perundang-undangan dimaksud, atau dengan pengertian lain pemerintah daerah tidak boleh mengungut jenis pajak maupun jenis retribusi selain yang sudah ditetapkan dalam undang-undang (close-list system).

Paradigma baru dalam pemungutan pajak dan retribusi dimulai dengan sejak diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dianggap sebagai paradigma baru mengingat dalam UU tersebut telah terjadi beberapa perubahan yang signifikan dibandingkan dengan perundang-undangan sebelumnya. Demikian juga yang terjadi dibidang pengawasan pun mengalami perubahan yang signifikan, dimana sistem pengawasan pungutan daerah yang bersifat represif berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dirubah menjadi sistem preventif dan korektif yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Pengawasan represif telah berpindah menjadi sistem preventif dan korektif yang dilakukan terhadap produk hukum daerah bidang pungutan daerah, yaitu peraturan daerah (Perda) tentang pajak dan retribusi daerah yang terbagi dalam tahapan perumusannya.

Berpijak pada sistem pengawasan terhadap produk hukum daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan pendekatan preventif maupun represif,
37 dapat dijelaskan bahwa pengawasan preventif dilakukan terhadap suatu rancangan perda atau sebelum suatu perda disahkan dan berlaku. Dengan pengawasan preventif ini, pemerintah pusat dapat memahami sejauh mana kebutuhan hukum masyarakat didaerah apakah dipaksakan ataupun tidak. Dengan pengertian lain bahwa pengawasan preventif diartikan sebagai pencegahan sementara agar tidak terjadi sesuatu yang pelaksanaannya diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Walaupun secara ekspilisit pengawasan secara preventif tidak secara tegas disebutkan, akan tetapi secara normatif dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Perda harus memenuhi kriteria : a)tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum; b) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta c) peraturan daerah lainnya.

Sementara itu, pengawasan represif merupakan suatu paksaan pemerintah terhadap pemerintah daerah dalam rangka menjaga keselarasan antara otonomi daerah dengan sistem Negara kesatuan yang dianut Indonesia serta menjaga rasa keadilan masyarakat. Dengan bentuk pengawasan yang seperti ini maka sebenarnya pemerintah pusat secara tidak langsung telah terhindar dari komplain atau kritikan dari masyarakat terhadap lahirnya suatu peraturan daerah yang ternyata merugikan masyarakat lokal. Selain itu, pengawasan represif dapat diartikan juga sebagai pengawasan terhadap Perda yang telah ditetapkan (sebelumnya Raperda). Pengawasan represif ini berkenaan dengan pembentukan suatu Perda yang didasarkan pada syarat formal pembentukan dan pengesahan, serta pemberlakuan suatu Perda sesuai secara legal formal. Pengujian terhadap Perda dapat dilakukan, sebagaimana diberlakukan terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya, baik secara formal maupun secara materil.

 

Selain itu, dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan
38 daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks UU No. 28 Tahun 2009, bahwa perwujudan pengawasan preventif dan korektif adalah dalam setiap raperda tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Pemerintah. Dalam hal ini, apabila Raperda PDRD Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri, sementara Raperda PDRD kabupaten/kota dievaluasi oleh Gubernur di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Terhadap proses evaluasi yang sedang dilakukan baik oleh Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Selanjutnya, Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau kepentingan umum. Selain itu, terhadap daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah dan retribusi daerah dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

Sejalan dengan adanya pengawasan terhadap eksistensi PDRD termasuk produk hukum daerah bidang PDRD sebagai landasan operasionalnya, baik dari sisi perancangan, penetapan, maupun pelaksanaannya, kiranya perlu dilakukan secara efektif agar terpenuhi tujuan, hasil, dan dampak yang diharapkan oleh pembuat kebijakan. Efektifitas dalam pengawasan dapat dikatakan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan PDRD sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

  1. Close-List System Sebagai Bentuk Pengawasan Terhadap PDRD

Close-list system dalam pengertiannya dapat diartikan sebagai cara pembatasan daftar / jumlah terhadap suatu objek yang dipilih. Dalam konteks pemungutan pajak dan retribusi daerah, dapat diartikan sebagai pembatasan jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat diberlakukan sebagai pungutan dan dapat dipungut oleh daerah. Pembatasan jenis pajak maupun jenis retribusi ini adalah representasi dari bentuk pengawasan pemerintah terhadap beredarnya jenis pajak maupun retribusi yang lahir semata-mata sebagai wujud kreatifitas pemerintah daerah dalam menjalankan otonominya (diskresi), yang ada kecenderungan salah
39 arah dan menjauh dari konsep perpajakan dan retribusi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan lebih menonjolkan kepentingan lokal dan kedaerahan.

Berangkat dari pengalaman buruk penerapan diskresi daerah dalam pemungutan pajak dan retribusi daerah, adalah hal sangat tepat dilakukan pembatasan terhadap jumlah jenis pajak atau retribusi daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Adapun kebijakannya diarahkan pada penggunaan potensi perpajakan dan retribusi yang lebih baik (berdasarkan kajian akademis), sederhana dalam pemungutannya, serta dapat diberlakukan di hampir seluruh daerah atau berlaku secara nasional. Selain itu, pembatasan jenis pajak maupun retribusi ini mengandung maksud untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan pajak maupun retribusi yang harus mereka bayar, serta adanya jaminan bahwa tidak akan ada lagi jenis pajak atau retribusi baru yang akan dipungut selain yang sudah ada.

Dalam perumusan ketentuan perpajakan dan retribusi khususnya terhadap seleksi jenis pajak atau retribusi yang akan diterapkan dalam perundang-undangan, sudah barang tentu dengan

 

menggunakan beberapa pertimbangan dan kajian akademis. Salah satu konsep perpajakan dan retribusi yang digunakan adalah dengan pendekatan kriteria pajak atau retribusi yang benar. Secara histori, dalam paradigma UU No. 34 Tahun 2000 bahwa evaluasi represif terhadap suatu Perda tentang pajak atau retribusi salah satunya juga menggunakan pendekatan kriteria jenis pajak maupun retribusi, sehingga dapat diidentifikasi yang mana Perda yang bermasalah atau yang bukan. Namun pada kenyataannya banyak Perda pajak maupun retribusi daerah yang bermasalah dan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dikarenakan objek pajak atau retribusi dimaksud bertentangan dengan kriteria pajak atau retribusi daerah yang benar.

 

  1. Pembatasan jenis pungutan berdasarkan kriteria pajak daerah

Close-list systemdalam pembatasan jenis pajak daerah dapat dilakukan melalui pendekatan kriteria pajak Daerah, dimana jenis pajak berdasarkan objeknya yang tidak sejalan dengan kriteria pajak yang benar tidak akan dipungut pajaknya, atau tidak akan diberlakukan sebagai pajak. Adapun kriteria pajak daerah yang dimaksud meliputi:

  1. Bersifat pajak, dan bukan retribusi Maksud dari kriteria ini adalah bahwa pajak tersebut harus sesuai definisi pajak yang ditetapkan dalam undang-undang yaitu pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Jika suatu iuran hanya dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan/ memanfaatkan suatu pelayanan/perizinan yang disediakan oleh Daerah maka iuran tersebut bukan pajak melainkan bersifat retribusi.
  2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
    bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani
    masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan Yang dimaksud dengan mobilitas rendah adalah objek pajak sulit untuk dipindahkan. Contoh, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak atas Pengambilan Sarang Burung Walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, dan BPHTB. Yang dimaksud dengan hanya melayani masyarakat di wilayah tertentu adalah bahwa beban pajaknya hanya ditanggung oleh masyarakat lokal. Contoh, Pajak Penerangan Jalan. Contoh jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain, pajak atas barang yang diekspor atau diimpor (lalu lintas barang) di pelabuhan atau bandara atau di tempat lain, pajak atas siaran radio, pajak atas reklame dalam surat kabar dan media elektronik. Jenis pajak dengan objek-objek tersebut pada umumnya melayani masyarakat luas di luar wilayah daerah yang bersangkutan.
  3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum Yang dimaksud dengan kriteria ini adalah bahwa pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antar pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Contoh: Pajak atas seluruh komoditi akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
  4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak Pusat Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain, adalah pajak ganda
    (double tax). Pajak ganda yang dimaksud adalah pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh Daerah. Contoh : pajak atas produksi minuman beralkohol Objek pajak tersebut merupakan objek cukai yang lebih layak dipungut oleh Pemerintah Pusat, karena dampak dari pungutan ini tidak dapat dilokalisir.

 

  1. Potensi pajak memadai Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.
  2. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif Pajak tidak menggangu alokasi sumber-sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor. Contoh jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini adalah:
  3. pajak yang dipungut atas kegiatan ekonomi tertentu tanpa alasan ekonomis atau sosial yang kuat, contoh: pajak atas produksi garam; pajak atas hasil perkebunan; pajak atas produksi semen; pajak atas atas lalu lintas barang.
  4. pajak atas transportasi barang atau hewan: contoh pajak angkutan barang di jalan raya; pajak dispensasi jalan umum.
  5. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat
  6. Aspek keadilan, antara lain, objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak, dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak. Hal lain mengenai aspek keadilan adalah objek atau subjek atau dasar pengenaan pajak tidak membedakan (klasifikasi) orang pribadi atau badan tanpa alasan yang kuat; contoh: pajak bangsa asing, pengecualian anggota DPRD sebagai subjek atau wajib pajak.
  7. Aspek kemampuan masyarakat: pajak memperhatikan kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak. Selanjutnya, sebagian besar dari beban pajak tersebut tidak dipikul oleh masyarakat yang relatif kurang mampu; contoh: pajak atas kendaraan tidak bermotor, seperti sepeda. h. Menjaga kelestarian lingkungan Pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada Daerah atau Pusat atau masyarakat luas untuk merusak lingkungan. Contoh jenis pajak ini salah satunya adalah Pajak atas Pengambilan Hasil Hutan Lindung.

 

  1. Pembatasan jenis pungutan berdasarkan kriteria retribusi daerah

Close-list system dalam rangka pembatasan jenis retribusi daerah dapat dilakukan melalui pendekatan kriteria retribusi daerah, dimana jenis retribusi yang tidak sejalan dengan kriteria retribusi sesuai konsep retribusi yang ada, tidak akan dipungut dan diberlakukan sebagai retribusi daerah. Adapun kriteria retribusi daerah meliputi :

Jasa Umum : retribusi bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribuai Perizinan Tertentu.

  1. bersifat bukan pajak maksudnya ada pelayanan/jasa dari Pemda yang langsung diterima oleh pengguna pelayanan/jasa.
  2. bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha maksudnya adalah bahwa dalam pengenaan tarif untuk jenis layanan ini tidak boleh melebihi biaya yang digunakan untuk penyediaan/ penyelenggaraan layanan tersebut.
  3.  bersifat bukan Retribusi Perizinan Tertentu maksudnya adalah bahwa layanan yang disediakan tersebut bukan dalam rangka pembinaan, pengaturan, pengendalian, atau pengawasan suatu kegiatan.
  1. b. jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka
    pelaksanaan desentralisasi Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam PP No. 38 Tahun 2007.
  2. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.
    Penerima layanan/jasa dapat diidentifikasi dan memberikan pelayanan dan kemanfaatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Contoh, Retribusi Kesehatan; Pengguna jasa kesehatan dapat diidentifikasi dan akibat dari pelayanan tersebut bermanfaat bagi masyarakat umum seperti terhindar dari wabah penyakit menular. Jika dalam penyediaan suatu jasa oleh daerah tidak ada aspek melayani kepentingan dan kemanfaatan umum selain pengguna sendiri, atau aspek melayani kepentingan dan kemanfaatan umum berkaitan terutama dengan kegiatan perizinan, maka jasa tersebut bukan bersifat jasa umum, tetapi bersifat jasa usaha atau perizinan. Contoh: penjualan makanan dan minuman oleh daerah bersifat jasa usaha, bukan jasa umum.
  3. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi Yang dimaksud dengan kriteria ini adalah bahwa:

1) pengenaan retribusi atas jasa tersebut dapat diterima oleh masyarakat secara keseluruhan;

2) pengenaan retribusi tidak mengakibatkan orang tidak dapat mengkonsumsi jasa tersebut;

3) Namun demikian, apabila suatu jenis layanan sudah ditetapkan sebagai objek retribusi maka orang pribadi atau badan yang tidak mampu atau tidak ingin membayar retribusi tidak diberikan jasa yang bersangkutan.

  1. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya Sarana publik yang berdasarkan kebijakan nasional wajib disediakan oleh Pemerintah dan pelayanannya harus diberikan secara gratis kepada masyarakat umum tidak dapat dikenakan retribusi. Retribusi atas penggunaan jalan lokal daerah ataupenggunaan jalan raya selain jalan-jalan tol tertentu dan Retribusi atas pelayanan pendidikan dasar tidak sesuai dengan kriteria ini.
  2. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial

1) Dapat dipungut secara efektif: berarti pungutan tersebut dapat dihitung dan dipungut dengan mudah;

2) Dapat dipungut secara efisien: berarti biaya pemungutan retribusi (biaya
44 gaji/upah/tunjangan pegawai pemungut, ongkos kantor yang bersangkutan, biaya perjalanan dinas, dan sebagainya) tidak melebihi hasil penerimaan retribusi.

3) Merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial: berarti potensi penerimaan sebanding dengan biaya penyediaan pelayanan.

  1. Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik Alokasi penerimaan retribusi diutamakan untuk peningkatan kualitas pelayanan
  2. Jasa UsahaRetribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu, Sama halnya dengan penjelasan kriteria 1 dari retribusi jasa umum di atas
  3. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah.

1) Pada dasarnya pelayanan tersebut dapat disediakan oleh swasta;

2) Dalam hal penyewaan aset terdapat kontrak penggunaan/ penguasaan aset dalam jangka waktu tertentu.

  1. Perizinan Tertentu
  2. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 38 Tahun 2007.
  3. Perizinan yang bersangkutan benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum

1) Kegiatan yang memerlukan izin tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat setempat;

2) Dengan penyelenggaraan izin tersebut kepentingan masyarakat terlindungi.

  1. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.

1) Biaya yang dikeluarkan oleh Pemda dalam melakukan pengendalian dan pengawasan kegiatan cukup besar;

2) Biaya untuk menanggulangi dampak negatif atas izin tersebut cukup besar, seperti biaya penanggulangan polusi yang diakibatkan dari pemberian izin terhadap suatu kegiatan industri

Hasil Evaluasi Perda PDRD

Hasil evaluasi Perda PDRD juga dapat dilakukan oleh masyarakat atau institusi lain diluar Pemerintah, tetapi sifatnya informal dalam rangka check and balance antara Perda yang sudah ditetapkan dengan implementasi pemungutaanya di lapangan, atau antara Perda yang sudah ditepakan dengan muatan yang diatur didalamnya disesuaikan dengan ketentuan UU No.28 Tahun 2009 dan peraturan perundang undangan lainnya, atau antara pungutan yang dikenakan dengan dasar hukum yang dipakai untuk pungutan tersebut.

Pengawasan Perda PDRD yang dilakukan oleh institusi lain diluar institusi Pemerintah, misalnya pengawasan yang dilakukan oleh Kadin/Kadinda, Apindo dan KPPOD.baik terkait kebijakan atau pungutan daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi atau dianggap menghambat iklim investasi, Dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Daerah dalam rangka meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD), daerah dilarang menetapkan Perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang, dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor impor.

Pengawasan yang dilakukan oleh institusi lain di luar Pemerintah terkait Perda yang sudah ditetapkan dengan implementasinya di lapangan, misalnya mengenai besaran tarif yang ditetapkan dalam Perda Tersebut apakah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang, dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor impor atau apakah pungutan yang dilakukan oleh daerah khususnya retribusi, struktur tarifnya sudah diatur dalam Perdanya.

Pengawasan yang dilakukan institusi lain selain Pemerintah terkait muatan Perda yang sudah ditetapkan dengan kesesuaian UU No.28 tahun 2009 dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi, misalnya mengenai muatan muatan yang diatur dalam Perda tersebut apakah sudah berdasarkan UU No.28 tahun 2009 dan peraturan sektoralnya, atau masih berdasarkan ketentuan UU PDRD yang lama yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengawasan yang dilakukan terkait pungutan yang dikenakan dengan dasar hukum yang dipakai untuk pungutan tersebut, misalnya apakah pungutan yang dikenakan tersebut ada Perdanya, atau apakah pungutan tersebut berdasarkan Peraturan Kepala Daerah saja, atau apakah pungutan tersebut dilakukan terhadap Perda yang sudah dibatalkan.

Masukan dari masyarakat atau institusi lain diluar Pemerintah terkait pengawasan PDRD akan dijadikan pertimbangan Pemerintah sebagai dasar untuk melakukan klarifikasi terhadap Perda yang sudah ditetapkan, sepanjang Perda tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2009, bertentangan dengan kepentingan umum, menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, kegiatan ekspor/impor dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.. Sebagai contoh, hasil evaluasi terhadap Perda PDRD yang dilakukan oleh institusi lain, seperti KUMKM, KPPOD, APINDO.

Kesimpulan

Berdasarkan pokok pokok bahasan dalam bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Perubahan regulasi dan kebijakan dibidang PDRD dari Undang-undang sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000) ke Undang-undang yang baru (UU No.28 Tahun 2009), berimplikasi :
  2. Jenis pungutan PDRD yang semula berdasarkan Undang-undang No.34 Tahun 2000 yang bersifat open list, artinya daerah masih dapat menetapkan jenis pungutan selain yang ditetapkan dalam Undang-undang sepanjang sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut, dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009 diubah menjadi close-list, artinya Daerah hanya dapat melakukan pungutan terhadap jenis pungutan yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009, atau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah terkait retribusi tambahan.
  3. Mekanisme pengawasan terhadap raperda yang semula berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 bersifat represif, artinya pengawasan terhadap raperda PDRD dilakukan setelah Perda tersebut ditetapkan, dengan berlakunya UU No.28 Tahun 2009 pengawasan tersebut diubah menjadi preventiv dan korektif, artinya pengawasan dilakukan sebelum raperda PDRD ditetapkan menjadi Perda, dan pengawasan dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap muatan materi yang diatur dalam raperda PDRD.
  4. Pengawasan yang dilakukan berdasarkan UU No.28 Tahun 2009terkait Perda PDRD dirasakan belum efektif, karena dapat menimbulkan pengawasan ganda, yaitu jenis pungutannya sudah diawasi sesuai yang ditetapkan dalam UU No.28 Tahun 2009, mekanisme pengawannya dilakukan sebelum raperda ditetapkan menjadi Perda, dan setelah ditetapkan menjadi Perda.
  5. Institusi yang melakukan pengawasan terhadap perda PDRD, dilakukan secara formal oleh Pemerintah Daerah, yaitu Gubernur dan Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan terkait evaluasi raperda/Perda 90 PDRD. Sedangkan institusi lain, seperti : KPPOD, APINDO, KADIN, KUKM atau masyarakat secara personal dapat melakukan pengawasan secara non formal terkait implementasi pemungutannya dilapangan atau muatan yang diatur dalam Perda PDRD.
  6. Berdasarkan hasil evaluasi Perda PDRD yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri maupun oleh Menteri Keuangan, belum ada Perda PDRD yang dibatalkan berdasarkan UU No.28 tahun 2009.

5. Berdasarkan hasil evaluasi Perda PDRD yang dilakukan oleh institusi lain diluar Menteri dalam Negeri dan Menteri Keuangan seperti : KPPOD, APINDO dan Kementerian KUKM, ditemukan Perda PDRD yang tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan.