UU Pengadilan Pajak segera direvisi

JAKARTA: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mengamendemen UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menyinkronkan dengan UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).

Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Markus Mekeng mengatakan rencana amendemen tersebut akan diusulkan ke Bamus DPR agar menjadi agenda prolegnas DPR 2010-2014. “Ada ketidaksinkronan antara pasal di UU KUP dengan UU Pengadilan Pajak. Ini harus disinkronkan agar tidak tumpang-tindih,” katanya, kemarin.

Dia menjelaskan perlunya dilakukan amendemen UU Pengadilan Pajak tersebut karena di UU Pengadilan Pajak terdapat pasal yang mengatur wajib pajak harus membayar 50% dari pajak terutang agar dapat di proses bandingnya. “Padahal di UU KUP yang baru kalau mau banding tidak perlu lagi bayar 50% dari jumlah pajak terutang.”

Ruston Tambunan, konsultan pajak dari Citasco mengatakan amendemen UU Pengadilan Pajak harus mempertegas masa transisi Pasal 37 UU KUP baru, karena Pasal 2 UU KUP baru mengatur UU KUP lama masih berlaku untuk semua hak dan kewajiban perpajakan tahun pajak 2001-2007.

“Nah pertanyaannya, untuk pengajuan banding atas hak dan kewajiban pajak 2007 ke bawah setelah berlakunya UU KUP baru yaitu 1 Januari 2008, ketentuan mana yang diberlakukan? Hal ini harus jelas dalam revisi nanti, demi kepastian hukum.”

Sementara itu, pengamat pajak dari Tax Center UI Darussalam menilai tidak ada persoalan dengan substansi pasal yang akan diamendemen tersebut karena Pasal 27 Ayat 5a UU KUP sudah menyatakan pajak yang belum dibayar (pajak yang terutang) pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

“Jadi belum ada pajak terutang pada saat pengajuan banding. Dengan demikian Pasal 36 Ayat 4 UU No. 14/ 2002 dengan sendirinya tidak akan pernah diberlakukan. Kalaupun harus direvisi, dihapus saja pasal ini,” katanya.

Menurut Darussalam, poin-poin penting yang seharusnya menjadi fokus dalam pembahasan amendemen UU Pengadilan Pajak adalah pertama, mengenai pembinaan teknis dan pembinaan organisasi harus di bawah MA, tidak seperti sekarang ini di mana pembinaan organisasi masih di bawah Depkeu.

“Kedua, putusan banding hendaknya bisa jadi yurisprudensi yang mengikat bagi wajib pajak, Ditjen Pajak, maupun hakim pajak yang lain. Putusan banding juga harus mudah diakses misalnya diakses lewat Internet.”

Ketiga, perlu adanya perpanjangan masa perpanjangan jabatan bagi hakim yang profesional dan kapabel.

Keempat, untuk menghindari penumpukan perkara di Pengadilan Pajak, seharusnya perkara di Pengadilan Pajak dibatasi hanya untuk yang sifatnya interpretasi hukum, bukannya masalah pengecekan kebenaran jumlah angka-angka yang ada di laporan keuangan.

Bisnis Indonesia (16 Nopember 2009)