Pengenaan pajak atas barang mewah

Tujuan utama, bahkan hakikat, dari pajak adalah memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat, tanpa terkecuali. Baik itu mereka yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan. Berada di pegunungan, maupun di lembah. Berlokasi di daratan, maupun di lautan bahkan pulau-pulau kecil terpencil.

Yang kaya, apalagi yang miskin. Sedang bekerja, atau juga pengangguran, dan sebagainya.

Dorong fungsi distribusi pajak makin implementatif

Hal ini terlihat dari pengertian dan mekanisme dari pajak itu sendiri. Bahwa saat kita membayar pajak berapa pun jumlahnya, tidaklah putus terhenti sampai di situ. Justru, itulah awal proses yang bermanfaat untuk kehidupan banyak orang. Yakni, melalui penyediaan barang-barang dan jasa publik (public goods and services) yang dibutuhkan masyarakat.

Bagaimana masyarakat di pedesaan bisa menikmati arus listrik dengan harga rendah, karena ada subsidi dari pajak, sehingga bisa dapat melakukan kegiatannya (misalnya, industri rumah tangga) hingga larut malam.

Tahun 2009 ini sudah terwujud anggaran pendidikan 20% dari APBN. Bahkan ke depan, bukan tidak mungkin ada jaminan sosial bagi orang yang tidak bekerja (menganggur karena PHK). Semua itu terwujud dengan adanya pembayaran pajak yang cukup bagi APBN.

Terkait dengan itu, beberapa kebijakan pajak (tax policy) Indonesia terlihat cukup konstruktif stimulan. Seperti halnya masyarakat yang membeli barang yang tergolong mewah, selama ini telah dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Dasarnya Pasal 5 UU No. 8/1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 18/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM.

Yang jadi dasar pertimbangan untuk pengenaannya adalah, pertama, perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan yang tinggi. Kedua, mengendalikan pola konsumsi atas barang yang tergolong mewah. Ketiga, melindungi produsen kecil atau tradisional. Dan keempat, mengamankan penerimaan negara.

Selanjutnya, dalam amendemen UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru, yakni Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008, dinyatakan bahwa atas barang yang tergolong sangat mewah, dikenakan PPh.

Jika ditelisik, ada perbedaan objek antara PPnBM dan PPh Pasal 22. Jika PPnBM, objeknya barang yang tergolong mewah, sedangkan PPh, lebih dari itu, yakni sangat mewah.

Sangat mewah

Yang jadi pertanyaan, apa kriteria yang membedakan kedua jenis pajak tersebut? Kriteria sebagai barang sangat mewah, dapat dilihat dari jenis ataupun harganya. Aplikasinya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.253/PMK.03/2008. Ada lima kelompok sebagai barang yang tergolong sangat mewah.

Pertama, pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 miliar. Kedua, kapal pesiar dan sejenisnya, yang harganya di atas Rp10 miliar. Ketiga, rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih Rp10 miliar.

Sedangkan luas bangunannya lebih dari 500m2. Keempat, apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau nilai pengalihan di atas Rp10 miliar, ataupun luas bangunan lebih dari 400m2.

Sedangkan yang kelima adalah kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang. Jenisnya berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multi purpose vehicle (MPV), ataupun minibus.

Jika Anda membeli barang tersebut, mekanisme pengenaan pajak yang berlaku sejak 1 Januari 2009 ini dilakukan saat penjualan barang sangat mewah. Besarnya 5% dari harga jual, tetapi dalam harga tidak termasuk PPN dan PPnBM. Caranya, dengan pemungutan oleh wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang tersebut.

Suatu kondisi negara tidak kondusif dan konstruktif bila terjadi ketimpangan yang signifikan dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Misalnya, ada sekelompak masyarakat yang dengan vulgar mempertontonkan harta kekayaan yang dimiliki-misalnya mobil atau rumah mewah-padahal di sekelilingnya masih banyak masyarakat untuk makan saja susah. Jika kondisi ini terus berlangsung, apa yang akan terjadi?

Untuk itu, salah satu fungsi pajak yang sangat diharapkan masyarakat adalah melalui distribusi penghasilan. Fungsi ini bisa dilakukan di antaranya melalui kebijakan tarif progresif. Selain itu, dapat juga melalui pengenaan pajak atas objek, yang umumnya dimiliki mereka yang berpenghasilan tinggi. Di antaranya, pajak atas barang sangat mewah ini.

Sehingga, wajar dalam negara sosio demokratis-demokrasi yang didukung kehidupan masyarakat yang berbeda kehidupan sosialnya, hidup rukun berdampingan-jika masyarakat yang berpenghasilan tinggi atau mampu membeli barang yang mahal, dikenakan pajak. Karena kalau tidak, apa kata dunia? Sehingga melalui pajaklah, masyarakat yang berpenghasilan rendah atau bahkan tidak berpenghasilan (penganggur) masih dapat hidup menikmati barang dan jasa publik yang disediakan oleh negara.

Bila kondisi ini terus dijaga dan dibangun, dalam beberapa tahun mendatang bukan tidak mungkin biaya berobat di rumah sakit ataupun biaya pendidikan akan gratis. Jalan raya sebagai sarana lalu lintas barang dan penumpang kualitasnya makin baik.

Korban banjir, tanah longsor, dan gempa bumi dengan cepat dapat diatasi. Keamanan semakin kondusif dan baik.

Pada akhirnya, semua kondisional ini akan mendorong masyarakat makin produktif, meningkat kemakmuran dan kesejahteraannya. Inilah yang diharapkan dari makin implementatifnya pajak di negara kita.

Liberti Pandiangan
Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan Direktorat Jenderal

Bisnis Indonesia (19 Februari 2009)